Rabu, 11 Maret 2015

Rupiah Tertekan Fundamental Ekonomi Internal yang Lemah

JAKARTA – Kurs rupiah terhadap dollar AS kian tertekan hingga mencatatkan rekor terendah sejak krisis moneter 1998 di posisi 13.024 rupiah per dollar AS pada transaksi antarbank, Senin (9/3) sore.
Pelemahan mata uang RI itu dinilai lebih banyak disebabkan oleh masih lemahnya faktor fundamental ekonomi internal antara lain ditandai dengan tiga defisit, yakni defisit perdagangan, defisit transaksi berjalan, dan defisit APBN Indonesia. Sepanjang 2015, kurs rupiah telah terdepresiasi sekitar 5,21 persen atau yang terburuk dibandingkan 10 mata uang negara Asia lain.

Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, mengungkapkan hal tersebut ketika dihubungi, Senin (9/3). Untuk itu, Salamuddin meminta pemerintah berani menjelaskan kondisi riil fundamental ekonomi Indonesia yang memicu tekanan depresiasi terhadap rupiah, ketimbang selalu menuding faktor eksternal, terutama membaiknya ekonomi AS, sebagai penyebabnya.

“Karena kenyataannya terbalik semua dari yang diomongkan pemerintah. Sesungguhnya pelemahan rupiah disebabkan oleh defisit neraca perdagangan, defisit transaksi berjalan, dan defisit anggaran negara. Tiga hal ini penyebab utama hancurnya rupiah yang tak pernah diakui oleh BI (Bank Indonesia) dan pemerintah,” papar dia.

Pada 2014, defisit transaksi berjalan mencapai 26,23 miliar dollar AS atau 2,95 persen dari produk domestik bruto (PDB), defisit neraca perdagangan sekitar 1,89 miliar dollar AS, dan defisit APBN sebesar 222,5 triliun rupiah atau 1,9 persen dari PDB.

Pergerakan rupiah saat ini lebih banyak dipengaruhi ekspektasi pasar terkait dengan kondisi eksternal dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia, khususnya perlambatan ekonomi Tiongkok, yang menjadi pasar utama ekspor nasional.

Kelesuan perekonomian Tiongkok akan menimbulkan ekspektasi permintaan Tiongkok terhadap barang ekspor dari Indonesia juga menurun. Akibatnya, defisit neraca perdagangan bisa meningkat sehingga defisit transaksi berjalan berpotensi melebar. Selanjutnya, rupiah akan melemah karena kurangnya pasokan dollar AS.

Selain itu, per Desember 2014, sesuai dengan data BI, utang luar negeri (ULN) yang jatuh tempo setahun mencapai 58,37 miliar dollar AS atau sekitar 20 persen dari total ULN Indonesia dan 52 persen terhadap cadangan devisa. Tekanan pembayaran ULN yang tinggi, bila tidak diantisipasi, berpotensi mendorong berlanjutnya pelemahan rupiah. Terlebih, sebagian besar ULN belum dipagari dengan mekanisme lindung nilai.

Sebelumnya, ekonom UGM, Yogyakarta, Denni P Purbasari, mengatakan guna mengurangi tekanan depresiasi rupiah terhadap dollar AS, BI mesti mengelola agar suku bunga acuan, BI Rate, tetap di level tinggi sehingga investor tetap tertarik untuk berinvestasi dalam mata uang RI.

Alasannya, pelemahan rupiah belakangan ini hingga menembus batas psikologis baru 13.000 per dollar AS, dinilai sejalan dengan perkiraan pemodal bahwa bank sentral AS akan menaikkan The Fed Fund Rate pada semester kedua tahun ini. Sebaliknya, apabila BI melanjutkan penurunan suku bunga acuan untuk merespons penurunan inflasi maka akan berisiko memunculkan tekanan terhadap mata uang RI lagi.

Anggaran Terbebani

Sedangkan dari sisi APBN, lanjut Salamuddin, investor juga sangat mengkhawatirkan kinerja ekspor yang tidak kunjung membaik. Hal itu mencerminkan ketidakmampuan pemerintah dalam memanfaatkan melemahnya rupiah.

“Menyatakan kepada rakyat untuk tenang-tenang saja menghadapi gejolak rupiah sesungguhnya pemerintah sedang menyembunyikan ancaman sesungguhnya, yakni kerugian selisih kurs yang sangat besar karena besarnya utang pemerintah dan swasta. APBN juga ditopang utang dalam dollar AS yang membuat biaya utang membengkak,” ujar dia.

Setiap tahun realisasi nilai tukar rupiah selalu meleset dari asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Diperkirakan pada 2015 yang di dalam APBN Perubahan 2015 diasumsikan 12.200 rupiah per dollar AS juga akan meleset karena pada Maret kurs rupiah sudah mencapai 13 ribu rupiah per dollar AS.

Akibat selisih kurs tersebut, Badan Pemeriksa Keuangan melaporkan hasil audit yang menemukan adanya kenaikan akumulasi utang dari 1.981 triliun rupiah pada 2012 menjadi 2.375 triliun rupiah pada 2013, naik 393 triliun rupiah. Di antara jumlah tersebut, 163,24 triliun rupiah diantaranya disebabkan oleh kerugian selisih kurs.

Sementara itu, ekonom UI, Telisa Falianty, mengatakan BI tidak bisa mengintervensi rupiah terus-menerus, tapi hanya sebatas mengurangi volatilitas. “Pemerintah perlu turut membantu karena kondisi ini merupakan fenomena global yang bukan hanya Indonesia yang terkena dampak. Pemerintah bisa menekan impor karena Indonesia membutuhkan banyak devisa,” kata dia, Senin.

Menurut Telisa, kondisi perekonomian Indonesia tampak lebih buruk karena adanya kenaikan harga domestik, kelangkaan pangan, dan suasana politik yang tidak kondusif. “Menjadi buruk karena dari sisi global banyak tekanan dan dari sisi internal juga tertekan,” tutur dia.

Diungkapkan Telisa, hingga rupiah menembus batas psikologis baru yakni 13 ribu rupiah per dollar AS,  BI belum melakukan strest test level atau pengujian berkala level rupiah. “Saat rupiah berada di level 12 ribu saja BI masih menyatakan jauh dari krisis. Padahal, pelemahan rupiah yang terjadi terus-menerus ini perlu diwaspadai,” tegas dia.

Telisa menilai menaikan BI Rate memang bisa menjadi alternatif meredakan gejolak penurunan kurs rupiah terhadap dollar AS. Namun, hal tersebut dinilai dilematis karena bank sentral belum lama ini menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,50 persen dari 7,75 persen, tapi di sisi lain kurs rupiah telah menembus 13.024 per dollar AS pada perdagangan kemarin. “Rumusnya ketika rupiah melemah BI Rate dinaikkan, tapi suku bunga baru turun kemarin dan kita masih membutuhkan hal itu guna merangsang pertumbuhan ekonomi,” ujar dia.

Sumber:
http://www.koran-jakarta.com/?29114-rupiah-tertekan-fundamental-ekonomi-internal-yang-lemah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar