Rabu, 11 Maret 2015

Pembatalan UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air oleh MK

Pembatalan UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air oleh MK

Foto: istimewa
Di tengah maraknya perseteruan antara berbagai lembaga negara pekan lalu kita juga dikejutkan dengan pembatalan UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air karena ada permohonan judicial review oleh pengurus pusat (PP) Muhammadiyah, dan sekelompok masyarakat lain.
Berita tersebut hampir tidak menarik perhatian publik yang tidak memahami dampak dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut dan lebih banyak terserap dan dibingungkan dengan polemik berbagai macam kelanjutan konflik antara lembaga negara, tetapi secara perlahan kisruh tentang pengelolaan sumber daya air itu muncul dalam perbincangan publik.
Hampir sebagian besar topik pembicaraan publik tersebut berkutat dalam hal komersialisasi dan privatisasi air dan sumber air yang seharusnya dikuasai negara. Sebetulnya UU No 7 Tahun 2004 ini memuat sejumlah hal yang bersifat kontroversial, bahkan sejak masih dalam proses penyusunannya UU ini telah menuai protes dari banyak kalangan.
Pada saat masih berbentuk Rancangan Undang-Undang pun sekelompok masyarakat yang tergabung dalam konsorsium Perguruan Tinggi dan Organisasi Non Pemerintah untuk pembaharuan kebijakan pengelolaan sumber daya air juga telah memprotes dan menggugat RUU yang nantinya menjadi UU No 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air ini.
Adapun keberatan dari kelompok masyarakat itu adalah selain masalah komersialisasi dan privatisasi air juga masalah moralitas dan integritas birokrasi pengelolaan sumber daya air dalam sistem desentralisasi dan otonomi daerah yang belum solid benar.
Pada saat moralitas dan integritas masih lemah bagaimana nantinya pemberian izin pengelolaan sumber daya air pada swasta, yang nantinya justru masyarakat luas yang akan dapat dirugikan.
Hak Hukum Masyarakat Tani dan Hak Usaha Swasta
Sebenarnya UU No 7 Tahun 2004 juga bersifat ambigu yaitu bahwa pengelolaan irigasi yang menurut Peraturan Pemerintah No 77 Tahun 2001 tentang Irigasi seluruh pengelolaan irigasi di semua arah pengelolaan merupakan kewenangan masyarakat tani dibatalkan oleh UU No 7 Pasal 41 dan sifat pengelolaan irigasi dikembalikan menjadi pengelolaan irigasi bersama antara pemerintah dan masyarakat sebagaimana terjadi pada masa kolonial dan orde baru.
Tetapi di sisi lain UU ini justru memberikan hak guna usaha air secara luas kepada swasta untuk ikut mengelola sumber daya air yang pada saat ini menjadi sumber masalah. UU No 7 Tahun 2004 dalam Pasal 1 bahwa sumber daya air didefinisikan sebagai air, sumber air, daya air akan dapat ditafsirkan berbeda-beda apabila dihubungkan dengan pasal 3, pasal 4, pasal 5 dan pasal 6.
Dari pasal-pasal itulah kemudian muncul pemahaman terhadap fungsi sosial dan fungsi ekonomi serta kemungkinan terjadinya usaha privatisasi dan komersialisasi sumber daya air. Pasal tentang hak guna air ini menjadi inti masalah karena fungsi air sebagai sosial dan fungsi ekonomi sangat tidak seimbang dan ditengarai pemerintah yang lebih condong pada fungsi ekonomi dan abai terhadap fungsi sosial.
Contoh konkretnya adalah Peraturan Pemerintah tentang Sistem Pengelolaan Air Minum (SISPAM), penjualan air sebagai komoditas ekspor ke negara tetangga. Perbedaan-perbedaan tafsir dan ketimpangan keberpihakan pemerintah itu akan dapat memicu konflik baik vertikal maupun horisontal.
Pada tahun 2010 BAPPENAS bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada melakukan pemetaan peristiwa konflik sumber daya air di seluruh negeri. Konflik itu dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori, konflik antara masyarakat dengan pemerintah/pemerintah daerah, konflik antar pemerintah daerah, konflik antara masyarakat dengan perusahaan (pengelola air minum dalam kemasan, pengusaha sektor pariwisata dan lain-lain), konflik antara masyarakat dengan pemerintah daerah dan konflik antar pemakai.
Konflik-konflik itu memunyai skala intensitas yang berbeda-beda bahkan di beberapa tempat sudah menjurus pada hal-hal yang bersifat anarkis terhadap satu pihak yang terlibat. Bahasan dan perbincangan publik terhadap pembatalan UU no7 tahun 2004 saat ini tampaknya hanya dipandang dari satu sudut saja yaitu hak negara terhadap pelaksanaan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Tetapi sebenarnya bahwa masalah air dan sumber daya air memunyai makna lebih luas dari itu. Masalah air dan sumber daya 1. air juga berhubungan dengan sifat dan fungsi air sebagai masukan produksi pangan dan juga berkaitan dengan keselamatan hidup dengan kehidupan masyarakat banyak.
Contohnya sungai sebagai sumber air irigasi, demikian pula konservasi air permukaan seperti: danau, embung, waduk dan dam. Air yang tidak terkendalikan 2. jumlahnya di satu tempat dalam waktu tertentu juga memunyai daya rusak air yang membahayakan kehidupan masyarakat.
Contohnya: banjir, banjir bandang, longsor, dan kekeringan. Sebagai fungsi tandon (3. reservoir) air di kubah gambut untuk mencegah bahaya kebakaran di musim kemarau. Saat ini pengaturan air di lahan gambut tidak mengakomodir fungsi konservasi air di kubahnya, kubah juga banyak didrainasi sehingga menghadapi musim kemarau gambut menjadi kering dan mudah terbakar/dibakar.
Air juga dibutuhkan untuk 4. menjaga lingkungan alami. Untuk mengatur itu sudah barang tentu membutuhkan banyak sekali aturan hukum agar semua fungsi air dapat difasilitasi dengan baik agar dapat berjalan secara sepadan.
Momentum Payung Hukum Baru
Pengelolaan SDA Oleh sebab itu pembatalan UU SDA juga akan memunyai efek dan dampak lebih luas dari yang diperkirakan. Efek yang langsung dirasakan adalah bahwa pemerintah dalam waktu dekat tidak memunyai payung hukum untuk melaksanakan pengelolaan SDA di lapangan karena semua aturan pelaksanaan yang bernaung dalam UU No 7 Tahun 2004 juga dibatalkan.
Turunan aturan pelaksanaan yang mengacu pada UU tersebut cukup banyak, berupa peraturan pemerintah (PP) yang tidak terkait dengan pasal privatisasi/komersialisasi air, misalnya: PP Bendungan, PP Pengelolaan SDA, PP Air Tanah, PP Sungai, PP irigasi, dan PP Rawa.
Juga peraturan di bawah PP yang dikeluarkan sebagai peraturan menteri Pekerjaan Umum (Permen PU). Meskipun keputusan MK juga menyatakan bahwa UU No 11 Tahun 1974 tentang pengairan diberlakukan kembali tetapi MK dalam amar keputusannya juga tidak menyatakan bahwa semua aturan pelaksanaan yang mengikuti UU No 11 Tahun 1974 berlaku kembali, dengan demikian semua aturan tesebut juga batal demi hukum karena sudah semua aturan pelaksanaan UU No 11 Tahun 1974 juga dibatalkan oleh semua tata aturan di bawah UU No 7 Tahun 2004.
Untuk mengisi kekosongan hukum sudah sangat tepat yang dilakukan pemerintah untuk segera menerbitkan aturan pelaksanaan UU No 11 Tahun 1974 baru dan disesuaikan dengan keadaan masa sekarang. Dalam bentuk peraturan-peraturan menteri. Untuk itu penyusunan peraturan menteri juga dapat mengacu pada UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Dearah dan UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025.
Dari sudut keuangan negara pembatalan itu juga dapat memberikan kerugian sangat besar. Sudah banyak sekali energi dan biaya yang dikeluarkan untuk menyusun tata aturan dalam bentuk peraturan pemerintah dan peraturan daerah maupun pengembangan kapasitas institusi dan koordinasi pengelolaan sumber daya air.
Bahkan banyak di antaranya yang dibiayai dari dana pinjaman berbagai lembaga donor. Semuanya itu harus konstruksi ulang dan itu semua juga membutuhkan energi, biaya dan waktu sangat banyak.
Namun di sisi lain pembatalan UU No 7 Tahun 2004 tentang SDA juga merupakan momentum pemerintah untuk memperbaiki diri dengan menyusun aturan pengelolaan sumber daya air yang pro-rakyat serta berkeadilan bagi semua pihak. Saat ini pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sedang mendapat tugas sangat berat yaitu membangun infrasruktur SDA agar dapat mencapai progam swasembada beras.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat harus membuka diri terhadap semua masukan dari para pihak dalam penyusunan undang-undang SDA yang baru. Secara langsung atau tidak langsung, masalah SDA ini juga ada di berbagai peraturan perundangan pada institusi terkait, misalnya: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian BUMN, Kementerian Perikanan dan Kelautan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian ESDM, dan Kementerian Perindustrian.
Pengalaman masa lalu pada masa orde baru yang hanya bertumpu pada pembanguan infrastruktur saja dan mengabaikan pembangunan unsur kemanusiaan justru memberikan kegagalan. Aspek tata kelola sumber daya air (water governance) dan integritas dalam pengelolaan sumber daya air (water integrity) harus diperhatikan dengan saksama.
Dua aspek ini nampaknya kurang diperhatikan oleh Kementerian Pekerjaan Umum pada masa lalu sehingga memicu ketidaksepadanan dalam pelaksanaan di lapangan. Selain itu berkembangnya sistem informasi yang berlangsung sangat cepat juga telah mengubah pengetahuan publik. Konsep pembangunan infrastruktur berbasis kemanusiaan dan manajemen pengetahuan para pihak juga harus difasilitasi dalam undang-undang yang baru nanti. Apabila tidak maka masyarakat akan dapat melakukan class action atau tindakan-tindakan lainnya yang dapat bersifat kontra produktif.
Tanah Air dan Pangan
Peran air untuk kehidupan, sebagai syarat pemenuhan sarana kehidupan sehari-hari, untuk kebutuhan pangan, menjaga dan meningkatkan kelestarian lingkungan seharusnya menjadi program utama bagi pemerintah. Negara Indonesia mengenal teritorialnya dengan sebutan “tanah air”, yang berarti selamatkan tanah dan air dalam rangka menyelamatkan negara dan menyejahterakan rakyatnya.
Sebagai negara agraris dan maritim, maka air dan tanah/lahan sangat perlu diprioritaskan bagi rakyat untuk memenuhi hajat hidupnya yang layak. Sayangnya masih ada masalah yang cukup pelik yaitu penguasaan lahan oleh Kementerian Kehutanan dengan UU 41 Tahun 1999, bahwa kawasan kehutanan di “tanah air” menduduki luasan sekitar 130 juta hektare. Sedangkan sisanya seluas 63 juta hektare berada di luar kawasan hutan yang dimanfaatkan untuk kegiatan selain kehutanan.
Parahnya lagi, penguasaan lahan di luar kehutanan banyak diberikan untuk korporasi yang bergerak di bidang nonpangan. Sebagai rangkuman dan saran dari tulisan ini beberapa butir dapat dikemukakan, yaitu: Sebaiknya pencabutan UU 1. SDA tahun 2004 ini lebih dimaknai sebagai perubahan pada pasal-pasal yang bertentangan dengan Pasal 33 UU 45.
Pasal-pasal lainnya perlu disinergikan dengan peraturan perundangan yang ada di sektor/kementerian terkait lainnya. Air tersimpan di dalam tanah 2. dan di permukaan tanah, maka pengaturan lahan sangat perlu diperhatikan, termasuk peraturan perundangan yang dirasa membelenggu keleluasaan akses rakyat untuk memanfaatkan tanah dan airnya untuk kepentingan bersama.
Peraturan pembatasan tanah/lahan untuk kegiatan yang tidak berbasis untuk kepentingan rakyat sangat perlu ditinjau ulang. Peran ekosistem lahan gambut sebagai konservasi sumber daya air dan mencegah kebakaran perlu dikawal sesuai dengan kriteria yang terdapat pada Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2014. Perlu juga dipertimbangkan 3. kondisi aktual di lapangan, bahwa air semakin sulit dikendalikan, daerah tangkapan air semakin berkurang, banjir dan kekeringan menjadi fenomena alam yang sering dikaitkan dengan perubahan iklim.
Pemerintah dapat belajar dari negara lain, misalnya Pakistan sebagai negara substropis mulai merasakan kesulitan dalam menyediakan air untuk rakyatnya karena kelalaian pemerintah dalam mengonservasi air permukaan dan air tanah. Hal serupa juga telah lama terjadi di beberapa negara tropikal Afrika yang dikenal dengan adanya migrasi hewan liar untuk mendapatkan air dan hijauan untuk kelangsungan hidupnya.
Apakah Indonesia sebagai negara muson tropis basah harus juga mengalami tragedi karena kesalahan pengelolaan sumber daya air yang tidak mengedepankan konservasi air permukaan dan air tanah untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Perubahan iklim sangat perlu 4. diantisipasi dan merupakan bagian dari peraturan perundangan SDA yang akan disusun, mengingat pemahaman berbagai sektor terkait juga belum serasi.
Pembangunan infrastruktur 5. yang dikerjakan oleh pemerintah perlu dievaluasi secara cermat karena di samping tidak serta merta akan selaras dengan tujuannya bilamana tidak mengepankan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Sebagai contoh Waduk Jatigede di Jawa Barat memerlukan penyelesaian lebih dari 10 tahun, demikian pula Waduk Nipah di Madura yang yang telah selesai dibangun tetapi sampai sekarang belum dapat difungsikan karena masalah sosial. n
Oleh: Sigit S. Arif dan Azwar Maas.
Pusat Studi Sumberdaya Lahan Universitas Gadjah Mada

Sumber:http://www.koran-jakarta.com/?29171-pembatalan%20uu%20no%207/2004%20tentang%20sumber%20daya%20air%20oleh%20mk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar