Sabtu, 29 November 2014

Pemerintah Widodo harus mengatasi dukungan ISIS di Indonesia

Presiden baru Joko Widodo (Jokowi) menghadapi tantangan pada beberapa bidang, tetapi hanya sedikit yang lebih mendesak daripada bagaimana membendung lonjakan dukungan dalam negeri untuk Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
  • 
Presiden Joko Widodo, yang terlihat sedang memimpin rapat kabinet pertamanya di istana presiden di Jakarta, Senin (27 Oktober), harus mengatasi masalah dukungan dalam negeri untuk Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), di antara tantangan lainnya. [Cahyo Sasmito/AFP/SETPRES]
    Presiden Joko Widodo, yang terlihat sedang memimpin rapat kabinet pertamanya di istana presiden di Jakarta, Senin (27 Oktober), harus mengatasi masalah dukungan dalam negeri untuk Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), di antara tantangan lainnya. [Cahyo Sasmito/AFP/SETPRES]
Lembaga Analisis Kebijakan Konflik (IPAC) yang berbasis di Jakarta menyarankan dalam laporannya, "Evolusi ISIS di Indonesia", agar pemerintah baru menindaklanjuti strategi mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meningkatkan kapasitaslayanan imigrasi untuk memantau pergerakan pendukung ISIS.
Mantan pemimpin Indonesia tersebut menyerukan peningkatan koordinasi dengan Densus 88 dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam menyediakan daftar orang-orang yang harus diwaspadai bagi para petugas di terminal feri dan bandara, serta berbagi informasi secara lebih baik lagi dengan para pemerintahan di kawasan itu, khususnya Malaysia.
"Setiap hambatan birokrasi dalam berbagi informasi harus ditinjau kembali," menurut laporan itu.
Juga disarankan untuk tetap menempatkan BNPT di bawah kepolisian dan bukannya mentransfer ke pihak militer .
"Polisi kontraterorisme-lah yang memiliki pengetahuan kelembagaan, jaringan intelijen dan rekam jejak untuk menangani masalah, meskipun tingginya tingkat kematian tersangka teroris dalam operasi polisi selama dua tahun terakhir juga perlu dikurangi," menurut laporan itu.
Analis intelijen dan keamanan Wawan Purwanto mengatakan bahwa menjaga kebersinambungan kebijakan adalah penting untuk mengekang ancaman terorisme dan radikalisme, sementara juga memberi ruang untuk mengevaluasi kebijakan tersebut untuk peningkatan hasil yang diperlukan.
"Kami tidak perlu mengalami perubahan drastis untuk jangka pendek dan panjang," katanya kepada Khabar Southeast Asia. "Orang-orang menjadi radikal melalui proses yang panjang, dan itu tidak terjadi dalam semalam."
Wawan menambahkan, dalam memerangi terorisme, mendapatkan dan mempertahankan kepercayaan masyarakat adalah sama pentingnya dengan mengisi kekosongan "kepala, hati, dan perut ".
"Tidaklah mudah untuk menjaga keseimbangan dalam mengisi tiga kekosongan tersebut dan ini adalah apa yang harus diingat oleh para penegak hukum atau petugas program deradikalisasi," katanya.
IPAC memperingatkan "penggunaan media sosial secara canggih oleh ISIS". Wawan menambahkan bahwa jumlah akun sosial yang pro-ISIS jauh lebih banyak daripada akun yang melawan tulisan mereka.
"Ini berbahaya karena media sosial (propaganda) benar-benar bisa mempengaruhi pikiran generasi muda," katanya. "Kita harus mengakui bahwa media sosial sangat berpengaruh."
sumber: liputan6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar